Perjanjian Roem Royen : Latar Belakang, Tokoh, Isi, Pasca dan Dampak Perjanjian Roem Royen

Posted on

Isi Perjanjian Roem Royen – Apa itu perjanjian Roem Royen? Siapa saja tokoh dalam perjanjian roem royen? Apa penyebab terjadinya Perundingan Roem Royen? Apa dampak dari perjanjian roem royen? Agar lebih memahaminya, kali ini kita akan membahas tentang sejarah perjanjian roem royen muali dari pengertian, latar belakang, tokoh, pasca dan dampak perjanjian roem royen bagi Indonesia.

Baca Juga : Perjanjian Tuntang

Pengertian Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem-Roijen (disebut juga Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi yaitu Mohammad Roem (Pihak Indonesia) dan Herman van Roijen (Pihak Belanda.

Tujuan pertemuan roem royen adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga membutuhkan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan HamengkuBuwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Latar Belakang Perjanjian Roem Royen

Penyebab diadakannya perjanjian roem royen adalah serangan Belanda terhadap Indonesia, khususnya serangan terhadap wilayah Yogyakarta dan penahanan para pemimpin Republik Indonesia. Dalam Agresi Militer II, Belanda melakukan propaganda bahwa TNI telah dihancurkan, yang sangat dikutuk oleh masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat. Dengan agresi militer kedua yang diluncurkan oleh Belanda, PBB bereaksi dengan otoritas pada KTN.

Selanjutnya KTN juga berganti nama menjadi UNCI (Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia). UNCI diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dengan Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia. Pada 23 Maret 1949, Dewan Keamanan PBB memerintahkan UNCI untuk campur tangan dalam Perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda. Dari pihak Indonesia, pembicaraan dipimpin oleh Mohammad Roem dan anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo dan Latuharhary. Sedangkan dari pihak Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. Van Royen bersama anggotanya Blom, Jacob, Dr. Van, Dr. Gede, Dr.P.J. Koets, Van Hoogstratendan dan Dr. Gieben.

Perjanjian berjalan cukup kasar dan penuh ketidakpuasan antara kedua pihak dan dengan hadirnya Drs. Moh. Hatta dari pengasingannya di Pulau Bangka sebenarnya memperkuat rakyat Indonesia dan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta lebih jauh menekankan bahwa “Yogyakarta adalah dari Republiek Indonesia” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Tokoh Perjanjian Roem Royen

Tokoh yang terlibat dalam perundingan Roem Royen diantaranya:

  • Sebagai wakil dari PBB adalah Merle Cochran (Amerika Serikat)
  • Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dengan anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo dan Latuharhary.
  • Delegasi Belanda dipimpin oleh van Royen dengan anggota Blom, Jacob, Dr. Van, Dr. Gede, Dr.P.J. Koets, Van Hoogstratendan dan Dr. Gieben.

Baca Juga : Perjanjian Renville

Isi Perjanjian Roem Royen

Dengan ketersediaan Indonesia dan Belanda untuk bertemu di meja perundingan merupakan awal dari harapan baru. Hal ini tidak terlepas dari inisiatif dan peran Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI). Dalam negosiasi ini, Republik Indonesia menyatakan bahwa kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan negosiasi berikutnya. Sedangkan, Belanda juga menuntut diakhirinya perang gerilya yang dilakukan oleh Republik Indonesia.

Setelah dialog yang panjang dan sulit antara kedua belah pihak, akhirnya pada 7 Mei 1948 tercapai sebuah kesepakatan. Isinya mengindikasikan bahwa kedua pihak, Indonesia dan Belanda telah setuju dan setuju untuk mengimplementasikan resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 dan telah disetujui pada 23 Maret 1949. Berikut pernyataan pemerintah Republik Indonesia adalah dibaca oleh perwakilan Indonesia, Mohammad Roem diantaranya:

  • Mengeluarkan perintah untuk menghentikan gerilyawan.
  • Pemerintah Republik Indonesia Kembali ke Yogyakarta
  • Angkatan bersenjata Belanda harus menghentikan dan menarik operasi militer dan membebaskan semua tahanan politik yang merupakan tahanan Belanda.
  • Belanda harus menyerahkan kedaulatan Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat.
  • Belanda telah memberikan hak, kekuasaan dan kewajiban kepada pihak Indonesia dan kedua belah pihak telah bekerja sama untuk memulihkan perdamaian dan menjaga keamanan dan ketertiban.
  • Belanda mengambil bagian dalam Meja Bundar (KMB) yang tujuannya adalah untuk mempercepat transfer kedaulatan yang lengkap dan tanpa syarat ke Republik Indonesia Serikat.

Pernyataan oleh delegasi Belanda dibacakan oleh Dr J.H. Van Royen, yang berisi tentang:

  • Belanda setuju untuk memberikan pemerintah Republik Indonesia kebebasan untuk melepaskan kewajibannya di daerah yang termasuk kediaman Yogyakarta.
  • Belanda memberikan kebebasan tanpa syarat kepada para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik lainnya yang ditahan sejak 19 Desember 1948.
  • Belanda telah setuju bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
  • Setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta,
  • Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan sesegera mungkin di Den Haag.

Baca Juga : Isi Perjanjian Saragosa dan Perjanjian Tordesillas

Negosiasi yang dipimpin oleh delegasi kedua pihak antara Indonesia dan Belanda di Hotel Des Indes di Jakarta menghasilkan kesepakatan yang menjadi isi perjanjian roem-royen diantaranya yaitu:

  • Semua pasukan militer Indonesia menghentikan semua aktivitas gerilya
  • Pemerintah Republik Indonesia akan berpartisipasi dalam KMB (Round Table Conference)
  • Pemerintah Indonesia harus segera dikembalikan ke Yogyakarta
  • Semua angkatan bersenjata milik Belanda juga akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tahanan politik.
  • Kedaulatan RI akan diberikan secara keseluruhan tanpa persyaratan apa pun sesuai dengan sejarah Perjanjian Renville pada tahun 1948.
  • Aliansi akan dibentuk antara Belanda dan Indonesia (RIS) atas dasar hak sukarela dan setara
  • Semua hak, kewajiban, dan kekuasaan yang dimiliki Indonesia akan diserahkan oleh Hindia Belanda.

Pada 22 Juni 1949, negosiasi segitiga dilakukan di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley, antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda. Negosiasi menghasilkan tiga keputusan berikut:

  • Belanda mengembalikan pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 4 Juni 1949.
  • Perintah untuk menghentikan gerilyawan akan diumumkan setelah pemerintah Republik Indonesia mengunjungi Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
  • Meja bundar (KMB) akan segera diadakan di Den Haag.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk segera mengambil pemerintah dari Belanda yang berada di Yogyakarta sebagai bagian dari perjanjian dalam perjanjian Roem-Royen. Akan tetapi, TNI menyambut ini dengan sikap yang penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Sehingga untuk menghindari kekhawatiran tentang kesepakatan dan untuk lebih fokus pada keamanan nasional.

Sebagai aturan umum, TNI tidak bisa sepenuhnya mempercayai konten atau hasil negosiasi, karena mereka tidak pernah menarik dan hanya memiliki efek yang merugikan bagi Indonesia dan untuk memperkuat mandat Jenderal Sudirman, komandan tentara dan kolonel wilayah Jawa A.H. Nasution memerintahkan para komandan di lapangan untuk dapat membedakan gencatan senjata dalam hal kepentingan politik atau kepentingan militer.

Baca Juga : Perjanjian Ekstradisi

Pasca Perjanjian Roem Royen

Pada 1 Juli 1949, pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta, sebagai bentuk kesepakatan yang berhasil. Selanjutnya, dengan kedatangan kepala Republik Indonesia dari medan gerilya. Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari pengasingan pada 6 Juli dan pada 10 Juli 1949, Jenderal Sudirman tiba di Yogyakarta. Setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949, rapat kabinet dimulai.

Selama sesi tersebut, Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengembalikan mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang telah ia terima pada 22 Desember 1948 dan secara resmi mengakhiri mandatnya di dalam PDRI. Selama sesi tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat sebagai Menteri Pertahanan dan sekaligus koordinator keamanan.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara kedua partai Belanda dan pihak Indonesia mulai berlaku, awalnya dimulai di pulau Jawa pada 11 Agustus dan di Sumatra sendiri pada 15 Agustus. Selama meja bundar, semua kesepakatan dicapai pada semua konflik pada agenda pertemuan, dengan pengecualian dari pertanyaan Papua Belanda.

Dampak Perjanjian Roem Royen

Dampak perjanjian Roem Royen menyebabkan Soekarno dan Hatta kembali dari pengasingan di Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia pada 6 Juli dan pada 13 Juli, kabinet Hatta menyetujui hasil-hasil perjanjian Roem Royen. Pada hari yang sama, Syarifuddin Prawiranegara kembali menyerahkan mandatnya sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) kepada Soekarno.

Gencatan senjata yang dihasilkan dari perjanjian Roem Royen antara Belanda dan Indonesia dimulai pada 11 Agustus di Jawa dan 15 Agustus di Sumatra. Dampak Perjanjian Roem Royen pada situasi di Indonesia setelah kemerdekaan diantaranya yaitu:

  • Tercapai kesepakatan selama negosiasi Roem Royen, SRIP Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintah Belanda di Yogyakarta.
  • Isi perjanjian termasuk pembebasan tahanan politik sehingga Soekarno dan Hatta bisa kembali ke Yogyakarta setelah pengasingan.
    Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia.
  • Pengajuan mandat dari Sjafruddin sebagai presiden PDRI di Soekarno.
  • Gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia di sebagian besar wilayah Indonesia.
  • Situasi di Indonesia berangsur-angsur mulai tenang dan stabil dan mulai memulihkan sektor publik dan sektor lainnya.
  • Round Table (Konfensi Meja Bundar (KMB)) diadakan di Den Haag, Belanda, yang akhirnya menyelesaikan masalah antara Indonesia dan Belanda.
  • Indonesia memperoleh kedaulatan penuh berkat berbagai konten yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
  • Indonesia pertama kali diakui sebagai negara berdaulat di mata masyarakat internasional, sehingga bantuan mulai berdatangan untuk merestrukturisasi sistem pemerintahan yang baik.

Partai Masyumi adalah pihak pertama yang menerima dan sepenuhnya menerima dampak dari perjanjian Roem Royen dan kontennya. Presiden PNI mengatakan bahwa negosiasi adalah langkah menuju penyelesaian berbagai masalah di Indonesia. TNI menanggapi dengan curiga hasil negosiasi dan perjanjian Roem Royen karena pihaknya skeptis tentang negosiasi dengan Belanda, seperti perjanjian Linggarjati dan konteks perjanjian Renville. Akan tetapi, Panglima Tertinggi, Jenderal Soedirman, memperingatkan komandan unit untuk tidak terlalu memikirkan isi perjanjian pada 1 Mei 1949.

Baca Juga : Perjanjian Internasional

Mendukung mandat Jenderal Sudirman, komandan militer dan Kolonel AH dari wilayah Jawa. Nasution kemudian memerintahkan para komandan di lapangan untuk dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau militer. Secara umum, TNI tidak mempercayai hasil negosiasi, karena Indonesia masih dirugikan. Pada akhirnya, kecurigaan TNI memang masuk akal karena Belanda sekali lagi melanggar perundingan yang disetujui Roem Royen. Belanda menyerang jantung pertahanan Indonesia dan berusaha merebut kembali Indonesia. Invasi Belanda segera mengakhiri konferensi meja bundar.

Dampak perjanjian Roem Royen tidak mencakup nasib Papua sebagai bagian dari Indonesia, sehingga kembalinya Irian Barat pada saat itu masih panjang. Masalah perjuangan untuk pembebasan Irian Barat atau Papua menjadi sesuatu yang tidak dinegosiasikan pada saat itu sehingga Indonesia tidak dapat menjadikan Papua bagian dari Republik Indonesia.

Papua tidak diakui karena banyak alasan, paling tidak karena Papua bukan koloni Belanda, walaupun banyak orang Papua ingin masuk ke Indonesia. Masalah Papua kemudian dibawa ke meja bundar. Dampak perjanjian Roem Royen telah menjadi tonggak penting dalam pembentukan kedaulatan Indonesia di mata negara lain, sehingga ada peluang bagus untuk mendirikan pemerintahan yang bebas dari intervensi atau campur tangan Belanda.

Demikian artikel pembahasan tentang sejarah perjanjian roem royen muali dari pengertian, latar belakang, tokoh, pasca dan dampak perjanjian roem royen bagi Indonesia. Semoga bermanfaat dam jangan lupa ikuti postingan lainnya.